Sabtu, 21 April 2012

askep autis


BAB I
PENDAHULUAN
1.1            Latar belakang
Autisme terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita laki- laki lebih besar dibandinhgkan penderita wanita. Meskipun demikian, bila kaum wanita mengalaminya, maka penderitaanya akan lebih parah dibandingkan kaum pria. Gejala- gejala autisme mulai tampak sejak masa yang paling awal dalam kehidupan mereka. Gejala- gejala tersebut tampak ketika bayi menolak sentuhan orang tuanya, tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan melakukan kebiasaan- kebiasaan lainya yang tidak dilakukan oleh bayi- bayi pada umumnya.
Ketika memasuki umur dimana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa kata, misalnya ayah, ibu, dan seterusnya, balita tidak mampu melakukannya. Di samping itu, ia juga megalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan yang lainnya. Inilah waktu yang tepat bagi orang tua untuk mulai menyadari bahwa ada kelainan yang dialami anak mereka.
Biasanya balita tersebut sudah mengalami keterlambatan perkembangan kemampuan selama 3 tahun ketika dikonsultasikan ke dokter oleh orang tuanya karena mengalami gejala- gejala autisme sampai kemudian dia didiagnosis mengidap autisme oleh dokter tersebut, dan diagnosis ini umum diberikan ketika balita itu sudah memasuki umur 5 tahun. Usia dari seseorang anak juga berpengaruh terhadap tingkat keparahan yang tampak dari gangguan itu.
Bila mengevaluasi kebiasaan penderita autisme, kita juga harus mempertimbangkan usia mereka. Pada usia 2- 5 tahun, mereka cenderung memiliki kebiasaan yang sangat buruk, tetapi tatkala menginjak usia 6- 10 tahun, perilaku mereka akan membaik. Tetapi, perilaku mereka akan cenderung memburuk kembali saat mereka memasuki usia remaja serta dewasa, dan selanjutnya akan kembali membaik seiring dengan bertambah tuanya usia mereka.
Sebagian besar penderita autisme mengalami gejala- gejala negatif skizofrenia, seperti menarik diri  dari lingkungan, serta lemah dalam berpikir ketika menginjak dewasa.

1.2 Rumusan masalah 
1.      Apa autisme itu ?
2.      Apa penyebab autis ?
3.      Faktor resiko apa yang akan muncul ?
4.      Apa sajakah terapi autism?
5.    Bagaimana asuhan keperawatan pada anak autis?

1.3 Tujuan
1.      Mengetahui apa autisme itu
2.      Menganalisis apa penyebab autisme
3.      Mengobservasi faktor resiko yang akan timbul
4.      Mengerti beberapa terapi untuk autism
5. Membuat rencana asuhan keperawatan
1.4 Manfaat 
1.      Agar mahasiswa dapat mengetahui autism pada anak.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Defenisi
Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak, gangguan dalam bahasa, persepsi, dan perkembangan motorik, kepedulian terhadap sekitar, dan ketidakmampuan untuk berperan dalam lingkungan sosial. Masalah ini jelas sebelum usia 3 tahun. Pada umumnya yang sering adalah kurang merespon terhadap orang lain, penurunan kemampuan dalam keterampilan komunikasi, dan tanggapan aneh dengan berbagai aspek lingkungan, gangguan berkembang dalam umur 30 bulan pertama. Kondisi ini merupakan yang jarang, terjadi pada anak-anak hanya 2 hingga 10 dari 10.000.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan berkomunikasi secara verbal. Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri) seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan berjinjit dan lain sebagainya.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.Oleh karena banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun pendidikan seseorang. Tidak semua individu memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang tertentu (musik, matematika, menggambar).
 Ciri-ciri yang khas pada anak yang austik :
a.       Defisit keteraturan verbal.
b.      Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c.       Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang   lain).
     Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
a.       Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b.      Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c.       Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.
Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

2.2  Epidemiologi
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Autisme menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987 diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita, dengan perbandingan 3-4:1

2.3 Etiologi
Sampai saat ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun ada beberapa diantaranya :
1.      Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama                pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara)
2.      Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
3.      Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
4.      Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak   menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
5.      Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi.
6.      Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak.

2.4  Cara Mengetahui Autisme Pada Anak
Anak yang mengalami autisme dapat dilihat dengan cara membandingkan anak yang normal dengan anak yang menderita autis. Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
1.      Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
Dengan mengidentivikasi kebiasaan sehari-haridari perilaku anak, apa perilaku anak ada perbedaan dengan perilaku anak yang lainnya.
2.      Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
Akan lebih baik jika orang tua mencari informasi tentang autis meski tidak secara mendalam. Pengetahuan orang tua sangatlah penting mengingat deteksi dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tuanya sendiri.
3.      Observasi orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
        Hampir sama dengan poin nomor satu, namun disini kita lebih menekankan pada interaksi dengan teman sebayanya baik di rumah maupun di sekolah.

2.5 .     Manifestasi Klinis
1.   Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a.       Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b.      Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c.       Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d.      Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e.       Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f.       Kontak mata minimal atau tidak ada.
g.      Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h.      Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i.        Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.        Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k.      Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

2.  Cara mengetahui autis pada anak juga dapat dilihat dari interval umur anak tersebut, karena tanda autis berbeda pada setiap interval umurnya:
a.       Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat, cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b.      Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c.       Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.


2.6  Pola penanaganan terpadu
Penanganan terpadu harus secepat mungkin dilaksanakan bila diagnosis autisme sudah terbentuk. Meskipun kelalailan yang ada diotak tidak dapat disembuhkan, namun dengan pola penanganan terpadu dan intensif, gejala- gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga diharapkan bisa berbaur dan hidup mandiri dengan masyarakat normal.Keberhasilan terapi tergantung dari beberapa faktor Berat atau ringannya gejala :
*       Umur
*      Kecerdasan
*      Bicara dan berbahasa
*      Intensitas dan terapi
Berbagai jenis jenis terapi yang harus dijalankan secara terpadu mencakup :
ü  Terapi medikamentosa
ü  Terapi wicara
ü  Terapi perilaku
ü  Pendidikan khusus
ü  Terapi okupasi (bila perlu)
     Setiap anak sebaiknya mendapatkan evaluasi yang lengkap dari dokter  dan para terapisnya, kemudian diberikan kurikulum indivdual berdasarkan kemampuan anak dalam setiap bidangnya. Namun, terapi perilaku harus tetap diterapkan disamping terapi- terapi yang lain. Karena bila perilaku anak tidak sesuai dengan norma masyarakat, ia akan sulit diterima di masyarakat secara normal.


1.      Terapi Medikamentosa
Dahulu, sebelum penyebab gangguan autisme diketahui, pengobatan pun agak sulit dan simpang siur. Obat- obatan yang dipakai lebih banyak ditujukan untuk menekan gejala- gejala tertentu saja, misalnya menekan hiperaktivitas yang ada, menekan agresivitas yang bisa membahayakan dirinya maupun orang disekitarnya, mengobati gejala- gejala tambahan seperti kejang dan sebagainya.
Saat ini, pengobatan lebih tertuju untuk mencoba memperbaiki komunikasi, memperbaiki komunikasi, memperbaiki respons terhadap lingkungan dan menghilangkan perilaku yang aneh dan diulang-ulang. Namun, karena gangguan yang terjadi itu didalam otak, maka obat- obatan yang dipakai tentusaja obat- obatan yang bekerja di otak, yaitu yang sering di pakai oleh psikiater.
Obat- obat yang ada di indonesia adalah dari jenis anti depresan SSRI (Selectiv Serotonim Reuptake Inhibator) dan benzodiazepin seperti misalnya fluexetine (prozae), sertralin (zoloft) dan risperidon (risperdal). Risperdal menunjukkan efek yang sangat baik, dimana dalam dosis kecilpun ia bisa secara efektif memperbaiki respon anak terhadap lingkungan. Namun, obat- obat lamapun seperti haloperidol, imipramin (trofanil), dan thioridazine (melleril) masih bisa dipakai.
2.      Terapi Wicara
Terapi wicara adalah suatu keharusan autisme, karena semua penyandang autisme mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda dengan anak lain. Terapi sebaiknya dibekali dengan pengetahuan yang cukup mendalam tentang gejala-gejala dan gangguan bicara yang khas dari para penyandang autisme.
3.      Terapi Perilaku
Berbagai jenis terapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik penyandang autisme, mengurangi perilaku yang tidak lazim, dan menggantinya dengan perilaku yang bisa di terima dengan masyarakat.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masnyarakat. Bukan saja gurunya yang bisa melakukan terapi perilaku pada saat belajar, namun setiap anggota keluarga dirumah harus bersikap sama dan konsisten dalam menghadapi penyandang.
4.      .    Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus adalah pendidikan individual yang terstruktur bagi para penyandang  autisme. Pada pendidikan khusus, diterapakan sistem satu guru untuk satu anak. Sistem ini paling efektif karena mereka tak mungkin dapat memusatkan perhatiannya dalam suatu kelas yang besar.
Untuk penyandang autisme yang ringan sebaiknya di sekolahkan ke kelompok bermain atau STK normal, dengan harapan anak bisa belajar bersosialisasi. Untuk penyandang sedang atau berat sebaiknya di berikan pendidikan individual dahulu, setelah mengalami kemajuan secara bertahap ia bisa dicoba di masukkan kedalam kelas dengan kelompok kecil, misalnya 2-5 anak perkelas.
Setelah lebih maju lagi, baru anak ini di coba di masukkan kedalam kelompok bermain atau STK kelas normal. Namun sebaiknya, jenis terapi yang lain terus dilanjutkan.
5.       Terapi Okupasi
Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila di banding dengan anak-anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu di beri bantuan terapi okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan dilatih supaya bisa anak menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan keterampilan otot jari tangannya.

2.7     Prognosis
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi merupakan hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.
 

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTIIS

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      A.    PENGKAJIAN
1.      Psikososial
a.       Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
b.      Memiliki sifat menolak perubahan secara ekstrim
c.       Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
d.      Perilaku menstimulasi diri
e.       Pola tidur tidak teratur
f.       Permainan stereotip
g.      Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
h.      Tantrum yang sering
i.        Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada pembicaraan
j.        Kemampuan bertutur kata menurun
k.      Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus

2.      Neurologis
a.       Respon yang tidak sesuai terhadap stimulus
b.      Reflek menghisap buruk
c.       Tidak mempu menangis ketika lapar

3.      Gastrointestinal
a.       Penurunan nafsu makan
b.      Penurunan berat badan

Hambatan komunikasi (verbal) yang berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2.      Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di rumah sakit.
3.      Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan perilaku dan sikapanak.

C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

No.NO
O
Diagnosa
Tujuan & Krieteria Hasil
Intervensi
Rasional
1.
Hambatan komunikasi (verbal) yang berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus

Anak mengkomunikasikan kebutuhannya dengan menggunakan kata-kata atau gerakan tubuh yang sederhana. Konkrit: bayi dengan efektif dapat mengkomunikasikan kebutuhannya (keinginan akan makan, tidur, kenyaman, dan sebagainya).
1.      Ketika berkomunikasi dengan anak bicaralah dengan kalimat singkat yang terdiri dari satu hingga tiga kata, dan ulangi perintah sesuai yang diperlukan. Minta anak untuk melihat kepada anda ketika anda berbicara dan pantau bahasa tubuhnya dengan cerma
2.      Gunakan irama, musik, dan gerakan tubuh untuk membantu perkembangan komunikasi sampai anak dapat memahami bahasa.
3.      Bantu anak mengenali hubungan antara sebab dan akibat dengan cara menyebutkan perasaannya yang khusus dan mengidentifikasi penyebab stimulus bagi mereka
4.      Ketika berkomunikasi dengan anak, bedakan kenyataan dengan fantasi, dan pernyataan yang singkat dan jelas
5.      Sentuh dan gendong bayi, tetapi semampu yang dapat ditoleransi

1.      kalimat sederhana dan diulang-ulang mungkin satu-satunya cara komunikasi karena anak yang austistik mungkin tidak mampu mengembangkan tahap pikiran operasional yang konkrit. Kontak mata langsung mendorong anak berkonsentrasi pada pembicara serta menghubungkan pembicaraan dengan bahasa dan komunikasi. Karena artikulasi anak yang tidak jelas, bahasa tubuh dapat menjadi satu-satunya cara baginya untuk mengkomunikasikan pengenalan atau pemahamannya terhadap isi pembicaraan.
2.      gerakan fisik dan suara membantu anak mengenali integritas tubuh serta batasan-batasan sehingga mendorongnya terpisah dari objek dan orang lain
3.      memahami konsep penyebab dan efek membantu anak membangun kemampuan untuk terpisah dari objek serta orang lain dan mendong mengekspresi kebutuhan serta perasaannya melalui kata-kata
4.      biasanya anak austistik tidak mampu membedakan realitas dan fantasi, dan gagal untuk mengenali nyeri atau sensasi lain serta peristiwa hidup dengan cara yang bermakna. Menekankan perbedaan antara realitas dan fantasi membantu anak mengekspresikan kebutuhan serta perasaannya
5.      Menyentuh dan mendorong mungkin tidak membuat bayi yang austistik merasa nyaman

2.
Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di rumah sakit
Anak memperlihatkan penurunan kecenderungan melakukan kekerasan atau perilaku merusak diri sendiri, yang ditandai oleh frekuensi tantrum dan sikap agresif atau destruktif berkurang, serta peningkatan kemampuan mengatasi frustasi
1.      Sediakan lingkungan yang kondusif dan sebayak mungkin rutinitas sepanjang periode parawatan dirumah sakit
2.      Lakuakan intervensi keperawatan dalam sesingkat dan sering. Dekati anak dengan sikap lembut, bersahabat, dan jelaskan apa yang anda akan lakukan dengan kaliamat yang jelas dan sederhana. Apabila dibutuhkan demonstrasikan prosedur kepada orang tua.
3.      Gunakan restrain fisik selama prosedur ketika membutuhkannya, untuk memastikan keamanan anak dan untuk mengalihkan amarah dan frustasinya, untuk mencegah anak dari membenturkan kepalanya ke dinding berulang-ulang, restrain badan anak pada bagian atasnya, tetapi memperbolehkan anak untuk memukul bantal.
4.      Gunakan tehnik modifikasi perilaku yang tepat untuk menghargai perilakau positif dan menghukum perilaku yang negatif. Misalnya hargai perilaku yang positif denga cara memberikan makanan atau minuman kesukaanya; beri hukuman untuk perilaku yang negatif dengan cara mencabut hak istimewanya
5.      Ketika anak berperilaku destruktif, tanyakan apakah ia mencoba menyampaikan sesuatu, misalnaya apakah ia mengiginkan sesuatu untuk dimakan atau diminum atau apakah ia perlu pergi kekamar mandi

1.      anak yang autis dapat berkembang melalui lingkungan yang kondusif dan rutinitas, dan biasanya tidak dapat beradaptasi terhadap perubahan dalam hidup mereka. Mempertahankan program yang teratur dapat mencegah perasaan frustasi yang dapat menuntun pada ledakan kekerasan
2.      sesi yang singkat dan sering memungkinkan anak mudah mengenal perawat serta lingkungan rumah sakit. Mempertahankan sikap tenang, ramah dan mendemonstrasikan prosedur terhadap orang tua, dapat membantu anak menerima intervensi sebagai tindakan yang tidak mengancam, dapat mencegah prilaku destruktif.
3.      restrain fisik dapat mencegah anak dari tindakan mencederai diri sendiri. Biarkan anak terlibat dalam perilaku yang tidak membahayakan, misalnya membanting bantal, prilaku semacam ini memungkinkan menyalurkan amarahnya serta mengekspresikan frustasinya dengan cara yang aman
4.      memberi imbalan dan hukuman dapat membantu mengubah perilaku anak dan mencegah episode kekerasa
5.      setiap peningkatan perilaku agresif  menunjukkan perasaan stress meningkat, kemungkinan muncul dari kebutuhan untuk mengomunikasikan sesuatu

3.
Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan perilaku dan sikap anak
Orang tua mendemonstrasikan keterampilan peran menjadi orang tua yang tepat yang ditandai oleh ungkapan kekhawatiran mereka tentang kondisi anak dan mencari nasehat serta bantuan
1.      Anjurkan orang tua mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka.
2.      Rujuk orang tua kekelompok pendukung autisme setempat dan kesekolah khusus bila diperlukan
3.      Anjurkan orang tua mengkuti konseling (bila ada).

1.      membiarkan orang tua mengekspresikan perasaan dan kehawatiran mereka tentang kondisi kronis anak. Membatu mereka beradaptasi terhadap frustasi denga lebih baik, suatu kondisi yang tampakanya cenderung meningkat
2.      kelompok pendukung memperbolehkan orang tua menemui oarang tua dari anak yang mendrita autisme untuk berbagi informasi dan memberikan dukungan emosional. Sekolah keahlian khusus menyediaka lingkungan kondusif untuk mengimplementasikan terhadap modifikasi perilaku.
3.      kontak denga kelompok swabantu membantu orang tua memperoleh informasi tentang maslah terkini, dan perkembangan yang berhubungan dengan autisme.


























BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. Penyebab Autisme diantaranya :Genetik, Kelainan kromosom, Neurokimia, Cidera otak, Penyakit otak organik, Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak. Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme : Penarikan diri, Gerakan tubuh stereotipik, Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek, Perilaku ritualistik dan konvulsif, Ledakan marah, Kontak mata minimal, Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, Keterbatasan kognitif, Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, Intelegensi, Sikap dan gerakan yang tidak biasa.
Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan dokter.
Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.

B.      Saran
1.      Bagi penulis
Kami selaku penulis senantiasa berharap penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkan.
2.      Bagi pembaca
Penulis menyadari bahwa makala ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA


         Minggu, 25 September 2011



Mott, James, Sperhac. ( 1990). Nursing Care Of Children And Families. Second Edition.  California : ADDISON-WESLEY.

 Wong, Donna L, (2009). Buku Ajar kaperawatan Pediatrik.Edisi 6. Jakarta : EGC.