BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Autisme
terjadi pada 5 dari setiap 10.000 kelahiran, dimana jumlah penderita laki- laki
lebih besar dibandinhgkan penderita wanita. Meskipun demikian, bila kaum wanita
mengalaminya, maka penderitaanya akan lebih parah dibandingkan kaum pria.
Gejala- gejala autisme mulai tampak sejak masa yang paling awal dalam kehidupan
mereka. Gejala- gejala tersebut tampak ketika bayi menolak sentuhan orang
tuanya, tidak merespon kehadiran orang tuanya, dan melakukan kebiasaan- kebiasaan
lainya yang tidak dilakukan oleh bayi- bayi pada umumnya.
Ketika memasuki umur
dimana mereka seharusnya mulai mengucapkan beberapa kata, misalnya ayah, ibu,
dan seterusnya, balita tidak mampu melakukannya. Di samping itu, ia juga
megalami keterlambatan dalam beberapa perkembangan kemampuan yang lainnya.
Inilah waktu yang tepat bagi orang tua untuk mulai menyadari bahwa ada kelainan
yang dialami anak mereka.
Biasanya balita tersebut
sudah mengalami keterlambatan perkembangan kemampuan selama 3 tahun ketika
dikonsultasikan ke dokter oleh orang tuanya karena mengalami gejala- gejala
autisme sampai kemudian dia didiagnosis mengidap autisme oleh dokter tersebut,
dan diagnosis ini umum diberikan ketika balita itu sudah memasuki umur 5 tahun.
Usia dari seseorang anak juga berpengaruh terhadap tingkat keparahan yang
tampak dari gangguan itu.
Bila mengevaluasi kebiasaan
penderita autisme, kita juga harus mempertimbangkan usia mereka. Pada usia 2- 5
tahun, mereka cenderung memiliki kebiasaan yang sangat buruk, tetapi tatkala
menginjak usia 6- 10 tahun, perilaku mereka akan membaik. Tetapi, perilaku
mereka akan cenderung memburuk kembali saat mereka memasuki usia remaja serta
dewasa, dan selanjutnya akan kembali membaik seiring dengan bertambah tuanya
usia mereka.
Sebagian besar
penderita autisme mengalami gejala- gejala negatif skizofrenia, seperti menarik
diri dari lingkungan, serta lemah dalam berpikir ketika menginjak dewasa.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa autisme itu ?
2.
Apa penyebab autis ?
3.
Faktor resiko apa yang akan muncul ?
4.
Apa sajakah terapi autism?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak
autis?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui apa autisme itu
2.
Menganalisis apa penyebab autisme
3.
Mengobservasi faktor resiko yang akan timbul
4.
Mengerti beberapa terapi untuk autism
5. Membuat rencana asuhan keperawatan
1.4 Manfaat
1. Agar
mahasiswa dapat mengetahui autism pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Defenisi
Autisme adalah gangguan
perkembangan yang sangat kompleks pada anak, gangguan dalam bahasa, persepsi,
dan perkembangan motorik, kepedulian terhadap sekitar, dan ketidakmampuan untuk
berperan dalam lingkungan sosial. Masalah ini jelas sebelum usia 3 tahun. Pada
umumnya yang sering adalah kurang merespon terhadap orang lain, penurunan
kemampuan dalam keterampilan komunikasi, dan tanggapan aneh dengan berbagai
aspek lingkungan, gangguan berkembang dalam umur 30 bulan pertama. Kondisi ini
merupakan yang jarang, terjadi pada anak-anak hanya 2 hingga 10 dari 10.000.
Gejala yang sangat menonjol adalah sikap anak yang
cenderung tidak mempedulikan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya, seolah
menolak berkomunikasi dan berinteraksi, serta seakan hidup dalam dunianya
sendiri. Anak autistik juga mengalami kesulitan dalam memahami bahasa dan
berkomunikasi secara verbal. Disamping itu seringkali (prilaku stimulasi diri)
seperti berputar-putar, mengepak-ngepakan tangan seperti sayap, berjalan
berjinjit dan lain sebagainya.
Selain berbeda dalam jenis gejalanya, intensitas gejala
autisme juga berbeda-beda, dari sangat ringan sampai sangat berat.Oleh karena
banyaknya perbedaan-perbedaan tersebut di antara masing-masing individu, maka
saat ini gangguan perkembangan ini lebih sering dikenal sebagai Autistic
Spectrum Disorder (ASD) atau Gangguan Spektrum Autistik (GSA).
Autisme dapat terjadi
pada siapa saja, tanpa membedakan warna kulit, status sosial ekonomi maupun
pendidikan seseorang. Tidak semua individu
memiliki IQ yang rendah. Sebagian dari mereka dapat mencapai pendidikan di
perguruan tinggi. Bahkan ada pula yang memiliki kemampuan luar biasa di bidang
tertentu (musik, matematika, menggambar).
Ciri-ciri yang khas pada
anak yang austik :
a.
Defisit keteraturan verbal.
b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran
verbal timbal balik.
c. Kekurangan teori berfikir (defisit
pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak
autisme adalah:
a.
Interaksi sosial dan
perkembangan sossial yang abnormal.
b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang
normal.
c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku,
diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif.
Ketiga-tiganya
muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi 3-4 per 1000 anak. Autisme
menigkat dengan sangat mengkhawatirkan dari tahun ke tahun. Menurut Autism
Research Institute di San Diego, jumlah individu autistik pada tahun 1987
diperkirakan 1:5000 anak. Jumlah ini meningkat dengan sangat pesat dan pada
tahun 2005 sudah menjadi 1:160 anak. Di Indonesia belum ada data yang akurat
oleh karena belum ada pusat registrasi untuk autisme. Namun diperkirakan angka
di Indonesia pun mendekati angka di atas. Autisme lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita,
dengan perbandingan 3-4:1
2.3 Etiologi
Sampai saat
ini belum ada satu penyebab yang pasti mengakibatkan anak autis. Namun ada beberapa diantaranya :
1. Genetik (80% untuk kembar monozigot dan
20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif
dan kemampuan bicara)
2. Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah
pecah atau fragil).
3. Neurokimia (katekolamin, serotonin,
dopamin belum pasti).
4. Cidera otak, kerentanan utama, aphasia,
defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan
perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
5. Penyakit otak organik dengan adanya
gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi.
6. Lingkungan terutama sikap orang tua, dan
kepribadian anak.
2.4 Cara Mengetahui Autisme Pada
Anak
Anak yang
mengalami autisme dapat dilihat dengan cara membandingkan anak yang normal
dengan anak yang menderita autis. Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
1. Orang tua harus mengetahui tahap-tahap
perkembangan normal.
Dengan mengidentivikasi kebiasaan
sehari-haridari perilaku anak, apa perilaku anak ada perbedaan dengan perilaku
anak yang lainnya.
2. Orang tua harus mengetahui tanda-tanda
autisme pada anak.
Akan lebih baik jika
orang tua mencari informasi tentang autis meski tidak secara mendalam.
Pengetahuan orang tua sangatlah penting mengingat deteksi dapat dilakukan
secara mandiri oleh orang tuanya sendiri.
3. Observasi orang tua, pengasuh, guru
tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain, pada saat berinteraksi
sosial dalam kondisi normal.
Hampir
sama dengan poin nomor satu, namun disini kita lebih menekankan pada interaksi
dengan teman sebayanya baik di rumah maupun di sekolah.
2.5 . Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita
Autisme :
a.
Penarikan diri, Kemampuan
komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang
mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang
didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual
kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan
sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non
verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi,
dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin
terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar
yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b.
Gerakan tubuh stereotipik,
kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan
bagian-bagian tubuh.
c.
Anak biasa duduk pada waktu
lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek
berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek
mekanik.
d.
Perilaku ritualistik dan
konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap
(tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari
suatu objek, dan dapat diramalkan .
e.
Ledakan marah menyertai
gangguan secara rutin.
f.
Kontak mata minimal atau
tidak ada.
g.
Pengamatan visual terhadap
gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan
penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya
respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang
mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h.
Keterbatasan kognitif, pada
tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i.
Menunjukan echolalia
(mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan
kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh
lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur
yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.
Intelegensi dengan uji
psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k.
Sikap dan gerakan yang tidak
biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai,
melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
2. Cara mengetahui autis pada anak juga dapat dilihat
dari interval umur anak tersebut, karena tanda autis berbeda pada setiap
interval umurnya:
a.
Pada usia 6 bulan sampai 2
tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang bila diangkat, cuek menghadapi
orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan sederhana (ciluk baa atau kiss
bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata. Orang tua perlu waspada bila
anak tidak tertarik pada boneka atau binatan gmainan untuk bayi, menolak
makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila anak terlihat tertarik pada
kedua tangannya sendiri.
b.
Pada usia 2-3 tahun dengan
gejal suka mencium atau menjilati benda-benda, disertai kontak mata yang
terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau alat, menolak untuk dipeluk,
menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi lemas, serta relatif cuek
menghadapi kedua orang tuanya.
c.
Pada usia 4-5 tahun ditandai
dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat terganggu bila terjadi rutin
pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau berbicara, tidak jarang
bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan orang lain segera atau
setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang menunjukkan nada suara yang aneh,
(biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak mata terbatas (walaupun dapat
diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan tetapi bisa juga berkurang,
melukai dan merangsang diri sendiri.
2.6 Pola penanaganan terpadu
Penanganan terpadu harus secepat mungkin dilaksanakan
bila diagnosis autisme sudah terbentuk. Meskipun kelalailan yang ada diotak
tidak dapat disembuhkan, namun dengan pola penanganan terpadu dan intensif,
gejala- gejala autisme dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga diharapkan
bisa berbaur dan hidup mandiri dengan masyarakat normal.Keberhasilan terapi
tergantung dari beberapa faktor Berat atau ringannya gejala :
Umur
Kecerdasan
Bicara dan berbahasa
Intensitas dan terapi
Berbagai jenis jenis terapi yang harus
dijalankan secara terpadu mencakup :
ü Terapi
medikamentosa
ü Terapi wicara
ü Terapi
perilaku
ü Pendidikan
khusus
ü Terapi
okupasi (bila perlu)
Setiap anak sebaiknya mendapatkan evaluasi
yang lengkap dari dokter dan para terapisnya, kemudian diberikan kurikulum
indivdual berdasarkan kemampuan anak dalam setiap bidangnya. Namun, terapi
perilaku harus tetap diterapkan disamping terapi- terapi yang lain. Karena bila
perilaku anak tidak sesuai dengan norma masyarakat, ia akan sulit diterima di
masyarakat secara normal.
1.
Terapi Medikamentosa
Dahulu,
sebelum penyebab gangguan autisme diketahui, pengobatan pun agak sulit dan
simpang siur. Obat- obatan yang dipakai lebih banyak ditujukan untuk menekan
gejala- gejala tertentu saja, misalnya menekan hiperaktivitas yang ada, menekan
agresivitas yang bisa membahayakan dirinya maupun orang disekitarnya, mengobati
gejala- gejala tambahan seperti kejang dan sebagainya.
Saat ini, pengobatan lebih tertuju
untuk mencoba memperbaiki komunikasi, memperbaiki komunikasi, memperbaiki
respons terhadap lingkungan dan menghilangkan perilaku yang aneh dan
diulang-ulang. Namun, karena gangguan yang terjadi itu didalam otak, maka obat-
obatan yang dipakai tentusaja obat- obatan yang bekerja di otak, yaitu yang
sering di pakai oleh psikiater.
Obat- obat yang ada di indonesia adalah dari jenis anti
depresan SSRI (Selectiv Serotonim Reuptake Inhibator) dan benzodiazepin seperti
misalnya fluexetine (prozae), sertralin (zoloft)
dan risperidon (risperdal). Risperdal menunjukkan efek yang
sangat baik, dimana dalam dosis kecilpun ia bisa secara efektif memperbaiki
respon anak terhadap lingkungan. Namun, obat- obat lamapun seperti haloperidol,
imipramin (trofanil), dan thioridazine (melleril) masih bisa dipakai.
2.
Terapi Wicara
Terapi
wicara adalah suatu keharusan autisme, karena semua penyandang autisme
mempunyai keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa.
Menerapkan terapi wicara pada penyandang autisme berbeda
dengan anak lain. Terapi sebaiknya dibekali dengan pengetahuan yang cukup
mendalam tentang gejala-gejala dan gangguan bicara yang khas dari para
penyandang autisme.
3.
Terapi Perilaku
Berbagai
jenis terapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik penyandang autisme,
mengurangi perilaku yang tidak lazim, dan menggantinya dengan perilaku yang
bisa di terima dengan masyarakat.
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para
penyandang autisme untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masnyarakat. Bukan
saja gurunya yang bisa melakukan terapi perilaku pada saat belajar, namun
setiap anggota keluarga dirumah harus bersikap sama dan konsisten dalam
menghadapi penyandang.
4.
. Pendidikan Khusus
Pendidikan khusus adalah pendidikan individual yang
terstruktur bagi para penyandang autisme. Pada pendidikan khusus,
diterapakan sistem satu guru untuk satu anak. Sistem ini paling efektif karena
mereka tak mungkin dapat memusatkan perhatiannya dalam suatu kelas yang besar.
Untuk penyandang autisme yang ringan sebaiknya di
sekolahkan ke kelompok bermain atau STK normal, dengan harapan anak bisa
belajar bersosialisasi. Untuk penyandang sedang atau berat sebaiknya di berikan
pendidikan individual dahulu, setelah mengalami kemajuan secara bertahap ia
bisa dicoba di masukkan kedalam kelas dengan kelompok kecil, misalnya 2-5 anak
perkelas.
Setelah lebih maju lagi, baru anak ini di coba di
masukkan kedalam kelompok bermain atau STK kelas normal. Namun sebaiknya, jenis
terapi yang lain terus dilanjutkan.
5.
Terapi Okupasi
Sebagian penyandang autisme mempunyai perkembangan
motorik yang kurang baik. Gerak-geriknya kasar dan kurang luwes bila di banding
dengan anak-anak lain seumurnya. Anak-anak ini perlu di beri bantuan terapi
okupasi untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi, dan membuat otot
halusnya bisa terampil. Otot jari tangan misalnya, sangat penting dikuatkan dan
dilatih supaya bisa anak menulis dan melakukan semua hal yang membutuhkan
keterampilan otot jari tangannya.
2.7 Prognosis
Anak terutama yang
mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri,
sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak
penempatan lama pada institusi merupakan hasil akhir. Prognosis yang lebih baik
adalah tingakt intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional,
kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan
menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada
perkembangan usia.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTIIS
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
A. PENGKAJIAN
1. Psikososial
a.
Menarik diri dan tidak
responsif terhadap orang tua
b.
Memiliki sifat menolak perubahan secara
ekstrim
c.
Keterikatan yang tidak pada
tempatnya dengan objek
d.
Perilaku menstimulasi diri
e.
Pola tidur tidak teratur
f.
Permainan stereotip
g.
Perilaku destruktif terhadap
diri sendiri dan orang lain
h.
Tantrum yang sering
i.
Peka terhadap suara-suara
yang lembut bukan pada pembicaraan
j.
Kemampuan bertutur kata
menurun
k.
Menolak mengkonsumsi makanan
yang tidak halus
2. Neurologis
a.
Respon yang tidak sesuai
terhadap stimulus
b.
Reflek menghisap buruk
c.
Tidak mempu menangis ketika
lapar
3. Gastrointestinal
a.
Penurunan nafsu makan
b.
Penurunan berat badan
Hambatan
komunikasi (verbal) yang berhubungan dengan kebingungan terhadap stimulus
2.
Resiko membahayakan diri
sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan rawat inap di rumah sakit.
3.
Resiko perubahan peran orang
tua yang berhubungan dengan gangguan perilaku
dan sikapanak.
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No.NO
O
|
Diagnosa
|
Tujuan
& Krieteria Hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Hambatan komunikasi (verbal) yang berhubungan dengan kebingungan terhadap
stimulus
|
Anak mengkomunikasikan kebutuhannya
dengan menggunakan kata-kata atau gerakan tubuh yang sederhana. Konkrit: bayi
dengan efektif dapat mengkomunikasikan kebutuhannya (keinginan akan makan,
tidur, kenyaman, dan sebagainya).
|
1.
Ketika berkomunikasi dengan
anak bicaralah dengan kalimat singkat yang terdiri dari satu hingga tiga
kata, dan ulangi perintah sesuai yang diperlukan. Minta anak untuk melihat
kepada anda ketika anda berbicara dan pantau bahasa tubuhnya dengan cerma
2.
Gunakan irama, musik, dan
gerakan tubuh untuk membantu perkembangan komunikasi sampai anak dapat
memahami bahasa.
3.
Bantu anak mengenali
hubungan antara sebab dan akibat dengan cara menyebutkan perasaannya yang
khusus dan mengidentifikasi penyebab stimulus bagi mereka
4.
Ketika berkomunikasi dengan
anak, bedakan kenyataan dengan fantasi, dan pernyataan yang singkat dan jelas
5.
Sentuh dan gendong bayi,
tetapi semampu yang dapat ditoleransi
|
1.
kalimat sederhana dan
diulang-ulang mungkin satu-satunya cara komunikasi karena anak yang austistik
mungkin tidak mampu mengembangkan tahap pikiran operasional yang konkrit.
Kontak mata langsung mendorong anak berkonsentrasi pada pembicara serta
menghubungkan pembicaraan dengan bahasa dan komunikasi. Karena artikulasi
anak yang tidak jelas, bahasa tubuh dapat menjadi satu-satunya cara baginya
untuk mengkomunikasikan pengenalan atau pemahamannya terhadap isi
pembicaraan.
2.
gerakan fisik dan suara
membantu anak mengenali integritas tubuh serta batasan-batasan sehingga
mendorongnya terpisah dari objek dan orang lain
3.
memahami konsep penyebab
dan efek membantu anak membangun kemampuan untuk terpisah dari objek serta
orang lain dan mendong mengekspresi kebutuhan serta perasaannya melalui
kata-kata
4.
biasanya anak austistik
tidak mampu membedakan realitas dan fantasi, dan gagal untuk mengenali nyeri
atau sensasi lain serta peristiwa hidup dengan cara yang bermakna. Menekankan
perbedaan antara realitas dan fantasi membantu anak mengekspresikan kebutuhan
serta perasaannya
5.
Menyentuh dan mendorong mungkin
tidak membuat bayi yang austistik merasa nyaman
|
2.
|
Resiko membahayakan diri sendiri atau orang lain yang berhubungan dengan
rawat inap di rumah sakit
|
Anak memperlihatkan penurunan
kecenderungan melakukan kekerasan atau perilaku merusak diri sendiri, yang
ditandai oleh frekuensi tantrum dan sikap agresif atau destruktif berkurang,
serta peningkatan kemampuan mengatasi frustasi
|
1.
Sediakan lingkungan yang
kondusif dan sebayak mungkin rutinitas sepanjang periode parawatan dirumah
sakit
2.
Lakuakan intervensi
keperawatan dalam sesingkat dan sering. Dekati anak dengan sikap lembut,
bersahabat, dan jelaskan apa yang anda akan lakukan dengan kaliamat yang
jelas dan sederhana. Apabila dibutuhkan demonstrasikan prosedur kepada orang
tua.
3.
Gunakan restrain fisik selama
prosedur ketika membutuhkannya, untuk memastikan keamanan anak dan untuk
mengalihkan amarah dan frustasinya, untuk mencegah anak dari membenturkan
kepalanya ke dinding berulang-ulang, restrain badan anak pada bagian atasnya,
tetapi memperbolehkan anak untuk memukul bantal.
4.
Gunakan tehnik modifikasi
perilaku yang tepat untuk menghargai perilakau positif dan menghukum perilaku
yang negatif. Misalnya hargai perilaku yang positif denga cara memberikan
makanan atau minuman kesukaanya; beri hukuman untuk perilaku yang negatif
dengan cara mencabut hak istimewanya
5.
Ketika anak berperilaku
destruktif, tanyakan apakah ia mencoba menyampaikan sesuatu, misalnaya apakah
ia mengiginkan sesuatu untuk dimakan atau diminum atau apakah ia perlu pergi
kekamar mandi
|
1.
anak yang autis dapat
berkembang melalui lingkungan yang kondusif dan rutinitas, dan biasanya tidak
dapat beradaptasi terhadap perubahan dalam hidup mereka. Mempertahankan
program yang teratur dapat mencegah perasaan frustasi yang dapat menuntun
pada ledakan kekerasan
2.
sesi yang singkat dan
sering memungkinkan anak mudah mengenal perawat serta lingkungan rumah sakit.
Mempertahankan sikap tenang, ramah dan mendemonstrasikan prosedur terhadap
orang tua, dapat membantu anak menerima intervensi sebagai tindakan yang
tidak mengancam, dapat mencegah prilaku destruktif.
3.
restrain fisik dapat
mencegah anak dari tindakan mencederai diri sendiri. Biarkan anak terlibat
dalam perilaku yang tidak membahayakan, misalnya membanting bantal, prilaku
semacam ini memungkinkan menyalurkan amarahnya serta mengekspresikan
frustasinya dengan cara yang aman
4.
memberi imbalan dan hukuman
dapat membantu mengubah perilaku anak dan mencegah episode kekerasa
5.
setiap peningkatan perilaku
agresif menunjukkan perasaan stress meningkat, kemungkinan muncul dari
kebutuhan untuk mengomunikasikan sesuatu
|
3.
|
Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan gangguan
perilaku dan sikap anak
|
Orang tua mendemonstrasikan keterampilan
peran menjadi orang tua yang tepat yang ditandai oleh ungkapan kekhawatiran
mereka tentang kondisi anak dan mencari nasehat serta bantuan
|
1.
Anjurkan orang tua
mengekspresikan perasaan dan kekhawatiran mereka.
2.
Rujuk orang tua kekelompok
pendukung autisme setempat dan kesekolah khusus bila diperlukan
3.
Anjurkan orang tua mengkuti
konseling (bila ada).
|
1.
membiarkan orang tua
mengekspresikan perasaan dan kehawatiran mereka tentang kondisi kronis anak.
Membatu mereka beradaptasi terhadap frustasi denga lebih baik, suatu kondisi
yang tampakanya cenderung meningkat
2.
kelompok pendukung
memperbolehkan orang tua menemui oarang tua dari anak yang mendrita autisme
untuk berbagi informasi dan memberikan dukungan emosional. Sekolah keahlian
khusus menyediaka lingkungan kondusif untuk mengimplementasikan terhadap
modifikasi perilaku.
3.
kontak denga kelompok
swabantu membantu orang tua memperoleh informasi tentang maslah terkini, dan
perkembangan yang berhubungan dengan autisme.
|
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Autisme masa
kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas
atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. Penyebab Autisme
diantaranya :Genetik, Kelainan kromosom, Neurokimia, Cidera otak, Penyakit otak
organik, Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak. Manifestasi
klinis yang ditemuai pada penderita Autisme : Penarikan diri, Gerakan tubuh
stereotipik, Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap
pada objek, Perilaku ritualistik dan konvulsif, Ledakan marah, Kontak mata
minimal, Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, Keterbatasan
kognitif, Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara
tepat) saat berbicara, Intelegensi, Sikap dan gerakan yang tidak biasa.
Anak autis
memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku,
terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT),terapi keluarga dan obat,
sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua , keluarga dan
dokter.
Gejala akan
berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri
sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.
B. Saran
1. Bagi
penulis
Kami selaku penulis senantiasa berharap penulisan makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis
atau pihak lain yang membutuhkan.
2.
Bagi pembaca
Penulis menyadari
bahwa makala ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran maupun
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penulisan
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Minggu, 25 September 2011
Mott, James, Sperhac. (
1990). Nursing Care Of Children And Families. Second Edition. California : ADDISON-WESLEY.
Wong, Donna L, (2009). Buku
Ajar kaperawatan Pediatrik.Edisi 6. Jakarta : EGC.